Pertanian Intensif
Dalam ekonomi pertanian, pertanian intensif adalah sistem pembudidayaan tanaman atau hewan yang menggunakan masukan (seperti tenaga kerja dan modal)
dalam ukuran besar, relatif terhadap luas lahan. Hal ini dilakukan
karena pertimbangan efisiensi lahan untuk meraih keuntungan yang besar.
Masukan besar diperlukan untuk aplikasi berbagai teknologi pertanian, seperti penggunaan pupuk, pestisida, benih unggul, mesin-mesin berefisiensi tinggi dan automatisasi dalam penanaman benih/bibit, perawatan, pemanenan, dan pemrosesan produk pascapanen. Selain itu, irigasi juga dilakukan secara terkendali sehingga memerlukan investasi
yang besar. Hasil usaha tani dengan pertanian intensif biasanya sangat
tinggi karena didukung oleh teknologi yang didasarkan pada berbagai riset terlebih dahulu. Pertanian industrial
biasanya akan menerapkan semua teknologi yang tersedia asalkan produksi
memberikan keuntungan yang besar dan memenuhi target kuantitas dan
standar kualitas.
Suatu usaha tani
dapat menerapkan sebagian atau seluruh teknologi tinggi yang tersedia
untuk melaksanakan pertanian intensif. Sebagai contoh, paket teknologi
yang dipakai dalam Revolusi Hijau untuk menggenjot produksi padi dan gandum
di sejumlah negara memiliki sejumlah karakteristik pertanian intensif,
tetapi tidak semuanya digunakan. Kebijakan yang diarahkan menuju
pertanian intensif dikenal sebagai intensifikasi.
Gerakan Revolusi Hijau yang dijalankan di negara – negara berkembang dan Indonesia dijalankan sejak rezim Orde Baru
berkuasa. Gerakan Revolusi Hijau sebagaimana telah umum diketahui di
Indonesia tidak mampu untuk menghantarkan Indonesia menjadi sebuah
negara yang berswasembada pangan secara tetap, tetapi hanya mampu dalam
waktu lima tahun, yakni antara tahun 1984 – 1989.
Disamping itu, Revolusi Hijau juga telah menyebabkan terjadinya
kesenjangan ekonomi dan sosial pedesaan karena ternyata Revolusi Hijau
hanyalah menguntungkan petani yang memiliki tanah lebih dari setengah
hektar, dan petani kaya di pedesaan, serta penyelenggara negara di
tingkat pedesaan. Sebab sebelum Revolusi Hijau dilaksanakan, keadaan
penguasaan dan pemilikan tanah di Indonesia sudah timpang, akibat dari
gagalnya pelaksanaan Pembaruan Agraria yang telah mulai dilaksanakan
pada tahun 1960 sampai dengan tahun 1965.
Revolusi hijau mendasarkan diri pada empat pilar penting. penyediaan air melalui sistem irigasi, pemakaian pupuk kimia secara optimal, penerapan pestisida sesuai dengan tingkat serangan organisme pengganggu, dan penggunaan varietas
unggul sebagai bahan tanam berkualitas. Melalui penerapan teknologi
non-tradisional ini, terjadi peningkatan hasil tanaman pangan berlipat
ganda dan memungkinkan penanaman tiga kali dalam setahun untuk padi pada
tempat-tempat tertentu, suatu hal yang sebelumnya tidak mungkin
terjadi.
Revolusi hijau mendapat kritik sejalan dengan meningkatnya kesadaran
akan kelestarian lingkungan karena mengakibatkan kerusakan lingkungan
yang parah. Oleh para pendukungnya, kerusakan dipandang bukan karena
Revolusi Hijau tetapi karena ekses dalam penggunaan teknologi yang tidak
memandang kaidah-kaidah yang sudah ditentukan. Kritik lain yang muncul
adalah bahwa Revolusi Hijau tidak dapat menjangkau seluruh strata negara
berkembang karena ia tidak memberi dampak nyata di Afrika.
- Dampak positif revolusi hijau
Produksi padi dan gandum meningkat sehingga pemenuhan pangan
(karbohidrat) meningkat. Sebagai contoh: Indonesia dari pengimpor beras
mampu swasembada dan bisa mengekspor beras ke India.
- Permasalahan dan dampak negatif
- Penurunan produksi protein, dikarenakan pengembangan serealia (sebagai sumber karbohidrat) tidak diimbangi pengembangan pangan sumber protein dan lahan peternakan diubah menjadi sawah.
- Penurunan keanekaragaman hayati.
- Penggunaan pupuk terus menerus menyebabkan ketergantungan tanaman pada pupuk.
- Penggunaan pestisida menyebabkan munculnya hama strain baru yang resisten
0 komentar:
Posting Komentar