Bila Ikan Tuna Masuk Kolam
TUNA adalah jenis ikan yang senang melanglang buana. Secara bergerombol, ribuan ikan tuna sirip biru selatan (southern blue fin tuna), misalnya, bisa berpindah dari Samudera Hindia ke sebelah barat Benua Australia hingga Samudera Selatan dekat Kutub. Jarak ribuan kilometer itu ditempuh dengan kecepatan tinggi sehingga jenis ikan pelagis ini tergolong sulit ditangkap.
Untuk menaklukkannya, mereka mengembangkan berbagai jenis alat tangkap dari yang sederhana hingga modern dengan daya tangkap yang intensif. Tak heran dalam beberapa tahun terakhir dilaporkan telah terjadi penurunan jumlah tangkapan ikan penjelajah itu. Menurut Sam Simorangkir, Ketua I Asosiasi Tuna Indonesia, menurunnya hasil tangkapan ikan tuna di dunia telah terlihat sejak tiga tahun terakhir, yaitu dari produksi 3,9 juta ton pada tahun 1999 menjadi 3,6 juta ton tahun 2002.
Selain jumlah, ia pun menyebut adanya kecenderungan penurunan berat per ekor dalam seperempat abad terakhir ini, yaitu dari 37 kilogram (kg) rata-rata per ekor pada tahun 1973 menjadi 26 kg pada tahun 1999. Hal tersebut menunjukkan menurunnya populasi tuna karena penangkapan berlebih dan berkurangnya ketersediaan serta kualitas sumber pakannya. Populasi tuna di alam yang terus menurun itu belum juga mendorong upaya pengurangan kegiatan penangkapannya. Akibatnya, ikan tuna kini terancam populasinya di muka Bumi.Dalam pertemuan Convention on International Trade in Endangered Species on Wild Fauna And Flora (CITES) pada tahun 1992, telah dinyatakan bahwa ikan tuna sirip biru yang banyak ditangkap di Samudera Pasifik merupakan spesies yang nyaris punah.
Budidaya tuna
Melihat kecenderungan itu, Jepang sebagai konsumen terbesar dari semua jenis ikan tuna menjadi khawatir. Karena itu, bangsa penggemar ikan ini merintis upaya budidaya tuna sebagai upaya mengurangi eksploitasi ikan tuna di laut. Mereka mengembangkan teknik budidaya tuna jenis sirip biru utara (northern blue fin tuna).
Dengan keberhasilan itu, Jepang menjadi negara pertama yang membudidayakan ikan pelagis ini dari mulai tahap pemijahan.
Saat ini, budidaya yang dilakukan masih terbatas pada upaya pembesaran, yaitu menangkap anak tuna kemudian dibesarkan di jaring terapung di laut, seperti yang dilakukan Australia. Anak ikan tuna sirip biru yang beratnya 1 kg hingga 5 kg akan dipelihara hingga 2 tahun untuk mencapai berat yang layak dipasarkan. Produksi ternak tuna dari negeri kanguru ini mencapai 7.500 ton tahun lalu.
Selain Australia, beberapa negara Mediterania (seperti Spanyol, Italia, Maroko, Portugis, Malta, Kroasia, dan Turki), Meksiko, dan Jepang telah melakukan upaya pembesaran ikan tuna. Dari negara Mediterania dihasilkan 11.300 ton tuna sirip biru, sedangkan Jepang 3.000 ton tuna jenis yang sama.
Namun, untuk membesarkan tuna, masing-masing negara menerapkan periode pembesaran dan ukuran tuna tangkapan yang berbeda. Jepang membesarkan tuna mulai dari ukuran 100 gram hingga 500 gram selama dua hingga tiga tahun, sedangkan kelompok negara Mediterania, tuna dipelihara selama 6 bulan saja, namun berat tuna yang ditangkap dari alam bobotnya 50-200 kg.
Jepang kini telah selangkah lebih maju dengan melakukan pemijahan. Tidak cukup memijah tuna sirip biru, peneliti tuna dari Negeri Matahari terbit ini menyeberang ke Benua Amerika, menjalin kerja sama dengan Panama yang menjadi eksportir tuna terbesar dari Amerika Latin.
Program budidaya tuna jenis albacore di Panama sudah dilakukan delapan tahun lalu. Budidaya itu kini juga sudah sampai tahap pemijahan hingga pembesaran. Namun, pembenihan ikan tuna yang dilakukan sejak tahun 1997 hingga saat ini masih dalam skala laboratorium.
Perhatian Jepang kini beralih ke Indonesia sebagai negara pemasok ikan tuna terbesar ke Jepang. Jepang memang merupakan importir tuna terbesar dari Indonesia. Pada kurun waktu dari Januari hingga Juni 2002 Jepang mengimpor 31.578 ton tuna dari seluruh dunia, sebanyak 9.455 ton di antaranya berasal dari Indonesia.
Karena itu, Jepang menganggap kerja sama riset tuna dengan Indonesia merupakan hal penting, seperti yang dikemukakan Presiden Overseas Fishery Cooperation Foundation (OFCF) Junji Kawai saat meresmikan fasilitas riset pembenihan dan pembudidayaan ikan tuna di Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Gondol, Kabupaten Buleleng, Bali, Selasa (22/4) lalu.
Riset pembenihan dan pembudidayaan ikan tuna di Gondol, Bali, diharapkan dapat mengurangi penangkapan ikan tuna di perairan Indonesia. Diketahui, Indonesia termasuk negara dengan jenis tuna terbanyak. Ada enam jenis ikan tuna yang dijumpai di perairan Indonesia, yaitu tuna mata besar (big-eye), tuna sirip biru selatan, tuna sirip kuning (yellow fin tuna), albacore, dan tuna ekor panjang (longtail).
Komoditas ekspor
Bagi Indonesia, menurut Menteri Kelautan dan Perikanan Rokhmin Dahuri, riset tuna merupakan program terobosan yang mempunyai nilai penting. Karena, ikan tuna bagi Indonesia merupakan komoditas ekspor terbesar kedua setelah udang. Dari nilai ekspor sebesar 2 miliar dollar AS per tahun, 20 persen disumbang dari ikan tuna. Ekspor tuna total dari Indonesia mencapai 200.000 ton per tahun.
Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) saat ini telah menempatkan budidaya perikanan sebagai program unggulan. Selain ikan tuna, ikan laut yang berhasil dipijah di fasilitas riset budidaya milik DKP meliputi udang, bandeng, kerapu, kakap merah, kepiting, dan teripang.
Untuk melaksanakan riset tuna itu, lembaga Jepang menunjukkan keseriusannya dengan memberi bantuan hibah untuk pembangunan fasilitas pembenihan atau hatchery sebesar Rp 10 miliar dan menyediakan tenaga ahli. Nilai hibah yang akan diberikan sebesar 2, 9 juta dollar AS untuk program riset hingga akhir tahun 2003.
Dalam hal ini, pihak Indonesia akan menyediakan lahan dan tenaga teknis. Pelaksanaan kerja sama yang akan berlangsung hingga tahun 2005 mulai dilakukan setelah penandatanganan kerja sama antara kedua belah pihak pada 21 Agustus 2001.
Riset tuna di Gondol, Bali, jelas Kepala Badan Riset Kelautan dan Perikanan DKP Indroyono Susilo, diawali dengan menangkap induk tuna di laut. "Saat ini baru tertangkap 5 induk tuna yang telah dipelihara di bak atau kolam khusus," jelasnya.
Kemudian akan dilakukan riset pembiakan dari telur menjadi gonad. Tahap berikutnya adalah riset pakannya agar berprotein namun tidak membuatnya gemuk sehingga sesuai dengan pakan alaminya. Pada tahap terakhir riset yang direncanakan selama tiga tahun ini adalah riset penyakit dan obatnya.
Dalam pelaksanaan budidaya tuna, ujar Kepala Pusat Perikanan Budidaya DKP Ketut Sugama, ada beberapa tingkat kesulitan, antara lain pada penangkapan induk tuna di alam. Karena kegesitan gerak ikan ini diperlukan kapal berkecepatan tinggi. Penangkapannya dengan pancing juga harus diatur agar tidak membuat bakal induk tuna itu mati karena luka atau kekurangan air selama dalam penyimpanan di kapal.
Tuna yang biasa bergerak lincah ini bila dipelihara di kolam akan mengalami peningkatan pesat bobot tubuhnya. Tuna sirip kuning yang diteliti beratnya saat ditangkap 4 kg. Namun, setelah dipelihara selama dua tahun dalam jaring apung di laut bisa menjadi 80 kg. Namun, bila dipelihara di kolam, ikan ini akan kurang bergerak sehingga kandungan lemaknya akan naik cepat dari sekitar 0,1 hingga 0,5 persen berat tubuhnya menjadi 10 hingga 20 persen dalam waktu dua bulan.
Peternakan tuna
Budidaya tuna sebenarnya telah mulai dirintis lima tahun lalu oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dengan mengembangkan sistem jaring apung di laut, seperti yang dilakukan Australia. Di negara benua ini, tuna berukuran kecil ditangkap dari alam dengan towing cage kemudian dipindahkan ke sangkar jaring di tepi pantai. Tuna dipelihara sampai mencapai ukuran ekonomis tertentu, baru dijual.
Husni Amrullah, peneliti BPPT yang pernah menjadi Koordinator Tim Studi Tuna, menjelaskan, tujuan dari uji coba budidaya tuna yang rencananya akan dilakukan di Pulau Seram, Ambon, itu untuk meningkatkan perekonomian nelayan di Kawasan Timur Indonesia. Diketahui, Indonesia termasuk 10 besar negara pengekspor tuna, namun tuna Indonesia dihargai rendah karena kualitas hasil tangkapannya rendah.
"Sistem penampungan sementara di jaring terapung atau kolam khusus dekat pantai dapat mengatasi masalah itu," ujar Husni yang pernah diperbantukan di DKP sebagai Direktur Pembenihan Ditjen Perikanan Budidaya DKP.
Pada program budidaya tuna BPPT beberapa tahun lalu, sempat dijalin kerja sama dengan Latoka Mina Raya untuk melakukan riset bersama dan mengkaji kelayakannya dari berbagai sudut, termasuk segi ekonomisnya. Dalam hal ini diusulkan kegiatan ini masuk dalam program Riset Unggulan Kemitraan. Program itu sayangnya berhenti sampai tahap awal karena kendala pendanaannya.
Menurut dia, upaya penangkapan ikan tuna muda untuk budidaya bisa dilakukan dengan dua tujuan, untuk pembesaran semata lalu dipasarkan dan mencari induk untuk tujuan pemijahan.
Namun, budidaya untuk tujuan pembesaran di jaring apung ini memerlukan biaya yang mahal. Apalagi pemeliharaannya di kolam memerlukan sistem sirkulasi dan pengaturan kondisi lingkungan kolam yang sesuai dengan habitat ikan tuna tersebut.
mahal dong kalau pelihara di kolam buatan
BalasHapus